Beda Wadah, Beda Pula Rasa

Cukup lama Mas Hilmy memberikan tugas, katanya disuruh buat orang menangis, tapi menurut saya sendiri itu bukan tugas, melainkan agar saya tidak nolep, yang hanya ngopi dengan teman-teman biasanya. Awalnya saya memang tidak kenal dengan orang yang meiliki nama asli Warni Sularsih, yang lebih enak saya panggil dengan sebutan Buk Sih. Seorang wanita asal Desa Keramat Kecamatan Wonoayu, yang lokasinya lumayan dekat dengan kecamatan saya.

Awal mula saya kenal, karena dirinya adalah orang yang punya warung kopi tempat teman saya kerja, kebetulan dirinya jarang ke warung, biasanya saat mengantar gorengan dan ambil setoran jualan, itu pun biasanya teman saya yang nyetor uang ke rumah.

Kebetulan, Jumat lalu sepulang saya kerja ada niatan untuk mampir ke warkop teman saya, hitung-hitung biar bisa ngopi gratis dan mencari kenalan untuk tugas ini. Setelah sampai di tempat tujuan ternyata ada ibuk yang punya warung, dan teman saya disuruh untuk kulak an, otomatis saya yang menggantikan untuk menjuali orang yang ngopi disana.

Sebenarnya yang membuka obrolan pertama adalah Buk Sih dulu, karena penasaran kok saya sering kesini, ditanya dari mana, rumah nya dimana dan lainnya. Saya langsung mendapatkan feel dari situ, karena ternyata saya diam-diam diperhatikan seseorang. Setelah saya kenalan dan ngobrol basa-basi terkait nama, alamat, dan kenapa buka warung disini. Buk Sih menjawab semuanya dengan senang hati, kebetulan anak nya cewek semua dan sudah berumah tangga, jadi lama tidak ngobrol santai dengan anak-anak nya.

Saya sebenarnya bingung mau nyenggol dari mana dulu, soalnya masih kali pertama kenal dan sksd sampai membahas masalah keluarga. Saat itu saya hanya menanyakan berapa buk anak nya, karena tadi di awal sudah saya jelaskan, bahwa dirinya mengatakan anak nya cewek semua dan lama tidak ngobrol santai. 

Dia menjelaskan bahwa anak nya ada tiga, cewek semua, tapi yang terakhir baru lamaran, belum sampai menikah, setelah itu saya tanyakan, “sepi ya buk di rumah, tinggal ibuk sama bapak”, justru pertanyaan itu membuat buk sih tertawa pelan dengan jawaban “iyaa nak, sudah lama rumah saya sepi, makanya bukak warung ini, sama mas A (teman saya) yang sudah saya anggap kayak anak sendiri, kalau bapak sudah meninggal nak karena sakit, anak-anak juga sudah ikut suami nya, jadi saya sendiri”.

Saya melanjutkan dengan pertanyaan, mbak nya yang terakhir dimana buk? Kerja apa kuliah memang nya kok ndak dirumah?, dirinya menjawab, anak saya yang terakhir dari bayi di pek sama saudara sejak bayi nak, kebetulan tahun kelahiran anak saya yang ke dua dan ke tiga hanya selisih satu tahun, dan tahun ditahun yang sama bapak wafat. 

Dari sini sebenarnya saya yang sudah tidak bisa menahan air mata, karena ingat cerita bapak saya, yang hampir 90% mirip dengan nasib anak Buk Sih yang terakhir.

Kemudian Buk Sih kembali melanjutkan ceritanya, bahwa saat itu perekoniam nya benar-benar sangat jauh dibawah, untuk beli susu saja tidak mampu, dan digantikan dengan air tajin, ia juga menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain selain meng-iyakan ucapan saudaranya, untuk mengadopsi anak Buk Sih yang terakhir.

Tapi takdir berkata lain, setelah beranjak sedikit dewasa didikan yang diberikan ibuk asuh dari anak Buk Sih yang terakhir adalah terlalu dimanja, kebetulan memang dari keluarga yang berkecukupan, padahal Buk Sih mengatakan tiap dirinya ada uang selalu di sisihkan untuk anak terakhirnya, dan memberikan uang saku secara adil dengan kakak-kakak nya, meskipun beda rumah.

Namun hal tersebut tidak pernah dikatakan oleh ibuk asuhnya, sampai pada saat ulang tahun yang ke 17, kebetulan perayaan nya cukup besar dengan mengundang teman SMP, SMA dll, begitu pua dengan Buk Sih yang tetap datang meski tidak memiliki undangan.

Dari sini air mata saya sudah tidak kuat terbendung, dan menetes secara perlahan. Ketika acara tersebut Buk Sih mengatakan “saya sebagai ibuk kandung nya saja dipanggil budhe nak.. saya ke sana juga tidak bawa tangan kosong, bawa kado dan menyalami uang, meskipun tidak terlalu banyak, karena dapatnya memang dari warung ini saja sama jual gorengan, tapi yang buat saya lebih kecewa, saya sudah jauh-jauh dari pilang ke krian justru tidak mendapat sambutan baik, sekedar di beri senyuman saja tidak, saya akhirnya memilih pulang sambal menyesali hal bodoh pada masa lalu yang pernah saya lakukan, yaitu memberikan darah daging pada orang lain”.

Ia juga menambahkan, “sebenarnya saya ingin memeluknya nak, sama seperti kakak-kakak nya yang lain, tapi bagaimana, takdir yang salah atau saya yang salah, saya juga bingung”

Kata teman-temannya ia kecewa berat dengan saya, kenapa saya di buang, kenapa tidak dirawat sendiri, malah memberikan pada orang lain. Kata itu yang sebenarnya ingin saya jelaskan sampai sekarang tapi selalu tidak bisa, karena hanya untuk bicara saja sepertinya mustahil nak.

“sebenarnya kalau saya bahas ini, sakit banget hati saya nak.. padahal tiap malam juga doa yang saya berikan sama, semoga yang diinginkan keturutan kabeh, ibuk mek iso ndungani, allah seng ngijabahi”.

Dari situ tamparan luar biasa yang sudah menampar dan mengujami wajah saya, sekedar menelan air liur saja rasanya tersumbat oleh rasa sakit ditenggorokan, bahkan dalam satu cerita saja sudah mewakili masalalu ibuk, bapak, dan saya. Yang ternyata hidup ini penuh miskomunikasi, dendam dan trauma yang mau tak mau harus tetap di telan.

Setelah Panjang lebar saya cerita dengan Buk Sih, saya langsung memeluknya dan merasa sudah sangat kenal dekat dengan dirinya, meskipun baru satu jam yang lalu memulai obrolan. Dari sini sangat banyak yang bisa saya simpulkan dan mungkin terlalu privasi, jika di florkan dalam sebuah tulisan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Random

Yang Katanya Sudah Modern, Tapi Masih Menyimpan Ritual-Ritual Mistis