Yang Katanya Sudah Modern, Tapi Masih Menyimpan Ritual-Ritual Mistis

Sesuai buku yang berjudul Agama Jawa yang ditulis oleh Clifford Geertz, saya sedikit ingin menyinggung perihal agama, meskipun Jawa sendiri tidak memiliki agama khusus namun banyak orang yang mengatakan bahwa agama tersebut bernama kejawen. Dari sinilah timbul perspektif orang-orang yang mengatakan bahwa agama adalah sebuah nilai, sebuah awal menuju akhir serta landasan sekaligus tujuan. 

Agama juga diartikan sebagai jalan titian menuju Tuhan. Dengan agama kita diberi cara atau metode agar kita dapat menuju Sang Pencipta. Akan tetapi, jauh sebelum kelima agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. masuk ke Indonesia, Jawa sudah ada aliran-aliran kepercayaan lama seperti Animisme, Dinamisme, Totemisme dan Politeisme yang dianut oleh masyarakat Jawa. 

Dalam perjalanannya, kepercayaan Monoteisme yang dibawa oleh masyarakat luar Jawa menerapkan sebuah ajaran yang mengesakan satu Tuhan, bahwa sebuah kepercayaan ini dibangun untuk mempercayai satu Tuhan sebagai sesembahan mereka, dan hal ini direspon baik oleh masyarakat Jawa.

Namun, aliran-aliran kepercayaan tersebut tidak diakui sebagai agama. Sebab dari seluruh aliran itu, semua lebih berupa monumen karya sastra, seni, budaya, tradisi, sikap, spritual dan filosofi orang Jawa yang sama sekali tidak mecerminkan sebagai agama. 

Buku yang ditulis oleh Clifford Geertz dengan judul Agama Jawa, tidak membahas mengenai definisi agama yang dianut oleh masyarakat suku jawa, tapi lebih pada kebiasaan atau adat yang masyarakat jawa lakukan secara turun temurun, salah satunya selametan. Bisa dikatakan selametan memiliki filosofi dari budaya hindu/budha yang pernah datang ke pulai jawa, hingga diluruskan ajarannya menjadi kegiatan yang lebih positif. Hal ini hal ini tentu saja membawa pembaca sedikit kebingungan, karena sebenarnya dari judulnya saja seolah-olah menulis tentang santri, abangan dan priyai.

Meskipun pembahasannya cukup rumit karena banyak hal yang diulas dibuku ini, seperti sistem kasta, kepercayaan dan adat, namun saya berusaha menjelaskan secara singkat. Yang pertama pembahasan terkait aliran yang telah diajarkan oleh nenek moyang masyarakat jawa secara turun menurun dengan lazim yang biasanya disebut dengan kejawen.

Kejawen sendiri sebenarnya bukan agama. Akan tetapi, lebih merupakan kultur induk yang memiliki sub-sub di dalamnya. Meskipun, setiap orang yang menganut maupun tidak akan memiliki presepsi yang berbeda. Kejawen sendiri telah mengalami pencampuran antara kepercayaan lama dengan agama resmi akibat datangnya orang-orang luar yang telah menetap di Jawa kala itu. 

Jika dilihat disekitar daerah tempat tinggal, mungkin masih banyak beberapa tradisi yang dari dulu sampai saat ini masih tetap di lakukan, terutama yang beragama Islam. “Memang benar kejawen telah banyak ditinggalkan, tetapi tradisi kejawen masih melekat pada masyarakat jawa hingga kini”.

Contohnya saja saya, yang bertempat tinggal asal sidoarjo, meskipun sidoarjo sudah dianggap kota besar dan modern, tetapi terkait tradisi kejawaan masih banyak dilakukan disini misalkan saja selametan 1 suro, 10 suro, 12 mulud, 27 rejeb (rejeban), 29 ruwah (megengan), 21, 23, 25, 29 maleman, bahkan slametan deso yang sama persis disebutkan oleh Clifford Geertz pada buku ini.

Tak hanya itu, dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Sidoarjo selalu mengadakan kegiatan lelang bandeng yang bertempat di alun-alun. Katanya hal itu sebagai bukti dalam menjunjung tinggi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan dianggap sebagai cambuk untuk meningkatkan produksi ikan bandeng petani tambak, agar hasilnya bisa melimpah ruah.

Dalam peringatan bulan ruwah pun, masyarakat Sidoarjo juga memiliki tradisi yang dinamakan Ruwatan atau berupa resik-resik deso. Nyadran merupakan adat lama yang diwariskan secara turun temurun bagi para nelayan kupang, sebagai bukti rasa syukur kepada tuhan atau sesepuh desa. Kegiatan ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 1 pagi, dimana orang-orang berkumpul untuk melakukan kelilinh, dengan jarak yang ditempuh sekitar 12 km.

Setelah itu, ketika iring-iringan sudah sampai di muara kali Pecabean perahu yang ditumpangi anak balita membuang seekor ayam. Menurut cerita, dahulu ada orang yang mengikuti acara Nyadran dengan membawa anak kecil dan anak kecil tersebut kesurupan. Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut masyarakat Balongdowo percaya bahwa dengan membuang seekor ayam yang masih hidup ke kali Pecabean maka anak kecil yang mengikuti nyadran akan terhindar dari kesurupan atau malapetaka.

Kemudian setelah sekitar pukul. 04.30 WIB. Peserta iring-iringan perahu tiba rombongan peserta nyadran langsung menuju makam dewi Sekardadu untuk mengadakan makan bersama. Sambil menunggu fajar tiba, peserta nyadran tersebut berziarah, bersedekah, dan berdoa di makam tersebut agar berkah yang di dapat terus mengalir.

Satu hal lagi, Ada satu proses dari pesta nyadran ini yaitu “Melarung tumpeng”. Proses ini dilakukan di muara atau yang biasa disebut clangap (pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai Candi, dan sungai Sidoarjo). Proses ini diadakan bila ada pesta Nyadran atau nelayan kupang yang mempunyai nadzar /kaul.

Kesimpulannya Kembali pada pembahasan awal, bahwa masih banyak tradisi yang dari dulu sampai saat ini masih tetap di lakukan, terutama yang mereka yang berpenduduk asli suku Jawa. “Memang benar kejawen telah banyak ditinggalkan, tetapi tradisi kejawen masih melekat pada masyarakat jawa hingga kini”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beda Wadah, Beda Pula Rasa

Random