Resensi Buku "Ini Bukan Revolusiku" Kumpulan Esai Anarko-Feminisme


Judul Buku : Anarchism & The Other Essay 
Judul Terjemah : Ini Bukan Revolusiku: Kumpulan Esai Anarko-Feminisme 
Penulis   : Emma Goldman 
Penerjemah  : Bima Satria Putra 
Jumlah Halaman : 201

Billl Murray, pernah berkata, “Jadi, kalau kita berbohong pada pemerintah, itu kesalahan. Tapi kalau pemerintah yang berbohong pada kita , itu politik”. 

Emmaa Goldman (1869-1940) seorang revolusioner nama yang mungkin masih asing di telinga kita. Namun lain halnya dengan masyarakat di Rusia. Seorang anarko, pejuang feminisme yang menjadikannya dijuluki perempuan yang paling berbahaya di zamanya. Dia hidup bersama serta membangun afiliasi dengan seorang anarko lain, yakni Alexander Berkman yang ia panggil dengan intim sebagai Sasha, tertulis jelas dalam literatur otobiografinya. 

Hidup dalam sebuah manage of trois bersama seorang seniman sahabat mereka, Modesh Stein yang biasa ia panggil Fedya yang menganggap bahwa kecemburuan adalah bentuk ketinggalan zaman dari rasa saling menghargai dan memiliki.

Buku yang berjudul Ini Bukan Revolusiku ini merupakan terjemahan dari buku antologi esai Emma Goldman berjudul Anarchism & The Other Essay yang terbit pada tahun 1910.

Penerjemahan ini berangkat dari keresahan-keresahan dengan pemikiran arus utama gerakan perempuan di Indonesia yang didominasi oleh feminis liberal, yang menuntut akses pada pekerjaan dan pendidikan, partisipasi pada pembangunan, upah layak dan sebagainya.

Berbanding terbalik dengan fakta kontekstual di Indonesia sendiri yang belum tuntas dengan problem kedudukan wanita dalam ruang domestik. Kemudian di titik inilah, hitam dan merah muda menyatu, ketika gagasan feminis dengan tradisi anarkis hadir. 

Emma Goldman bahkan mengatakan bahwa “Perempuan harus mengemansipasi dirinya sendiri dari emansipasi. Artinya menjadi feminis saja tidak cukup ia harus anti moralitas yang telah mapan, anti negaranya dan anti kapitalisme.” 

Meskipun buku ini berisikan kumpulan esai, tetapi dari setiap bagian terdapat keruntutan. Seperti halnya di awal buku ini menjelaskan terkait apa yang sebenarnya di maskud dengan anarkisme, sebuah gerakan yang selalu dicaci maki, dikutuk dan tak pernah pula dimengerti. 

Penulis bermaksud ingin meluruskan kesalah pahaman tersebut. Menurutnya, anarkisme adalah semangat pembebasan yang sesungguhnya untuk tetap mempertahankan dan memelihara jiwa-jiwa manusia untuk tetap utuh. Terbebas dari dogma agama dan aturan pemerintah. 

Menurut Goldman, “Agama itu penguasa pikiran manusia”, dengan dogma-dogmanya yang sangat mendominasi, menghina dan menrusak jiwa manusia. Agama selalu berkutat bahwa tuhan adalah segala-galanya dan kita bukan apa apa. 

Tapi dari kebukanapa-apaan itu, Tuhan menciptakan kerajaan yang menjadi sangat lalim, tiran, begitu kejam, sehingga sangat menuntut yang sia-sia juga kesuraman dan air mata darah yang memerintah dunia sejak dewa memulainya. 

Kemudian di tahun 1893, Goldman pernah ditangkap karena diduga mendorong para pengagguran menjarah roti dan dia dihukum setahun penjara di pulau Blackwell. Dalam pengadilanya, dia ditanya tentang banyak hal, salah satunya tentang pemerintah. 

Tak hanya itu, Goldman juga mengkritiki musuh terbesar ketiganya, yaitu negara. Menurutnya, negara, pemerintahan, otoritas yang terorganisir, atau hukum-hukum adalah penguasa perilaku manusia. Maka dari itu tidaklah salah bila ada yang mengatakan bahwa pemerintah sudah kacau sejak dalam istilah. Pemerintah sama saja dengan tukang perintah. Mereka merasa punya kekuasaan berlebih, termasuk kekuasaan untuk menindas dengan sewenang-wenang. 

Setelah membahas makna sesungguhnya tentang anarkisme, penerjemah juga memasukkan esai Goldman tentang emansipasi dari pembahasan bagaimana wanita di zaman sekarang ini hanya sebagai sebuah komoditas yang di perdagangkan. 

Dengan penggunaan bahasa yang cukup menarik, banyak pendapat yang menurut saya cukup kontroversial, Goldman adalah seorang intelektual yang tekun, ia mengamalkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang anarko seperti kata Henry David Thourou, “Orang yang terhormat itu orang yang cepat berpindah paradigma, berputus asa pada negaranya disaat negaranya punya seribu cara untuk berputus asa kepadanya”. 

Menurut saya di akhir esainya pun Goldman menjelaskan dengan cukup menarik. tepatnya di bagian 11 dan 12. Pada bab 11, ia mengkritik relasi antara cinta dan pernikahan. Menurutnya, pernikahan adalah kegagalan, sebab pernikahan menuntut kesetiaan hingga mati, pernikahan adalah transaksi, tidak benar bahwa pernikahan adalah bentuk perlindungan. “Cinta tak membutuhkan perlindungan, sebab cinta adalah perlindungan”. 

Sedangkan pada bab 12, Goldman menjelaskan penyebab dari suatu rasa dari sempalan cinta yang keliru kita pahami pada umumnya, yakni rasa cemburu, rasa yang timbul ketika mengetahui pasangan kita jalan dengan teman kita, rasa yang timbul ketika sang primadona sedang berhubungan dengan orang selain kita. 

Pada zaman primitif, ketika manusia belum mengenal kepemilikan pribadi, mungkin rasa cemburu itu tidak ada, karena tidak ada hubungan yang sifatnya mengekang. Namun setelah kepemilikan pribadi dan penindasan muncul, kecemburuan semakin menjadi suatu ke alamiahan bagi jiwa yang sedang dilanda kesuwungan (kebosanan). 

Padahal menurut Goldman, seharusnya cinta berlangsung tanpa syarat, ia harus bebas datang dan pergi melewati hati setiap orang tanpa penjagaan. Karena memang cinta bukan penyatuan kedua insan. Mereka tetap berpisah, dengan pikiran dan perilakunya masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shut up honey

Berharap Kepada Yang Sudah Pasti